(juara 1 loma cerita pendek kisah inspiratif Kamakarya 2013)
Disudut ruang tamu kami, yang luasnya tidak lebih dari
4
itu terletak
sebuah meja kecil berwarna hitam. Meja itu adalah sebuah meja telepon rumah yang sudah beralih fungsi sebagai meja
belajarku. Meja itu adalah satu-satunya meja yang ada di rumah kami, meja yang sampai
saat ini masih dibiarkan ibuku tetap berdiri
tegak dan masih tetap berada dirumah kami dengan sebuah alasan yang tak aku
ketahui.
![](file:///C:\Users\CELECH~1\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.gif)
Beginilah kondisi rumah kami setelah peristiwa kebangkrutan usaha ayahku. Demi
menyambung nyawa keluarga kami, ibu rela menjual barang-barang berharga yanga
ada di rumah kami pada tetangga sekitar. Ibuku tidak tahu lagi harus berbuat
apa, dan tidak tahu lagi bagaimana caranya mendapatkan uang untuk membeli
beras. Beliau menjual satu persatu barang-barang berharga kami, setiap kali
datang waktu makan. Mulai dari beberapa pakaian ibuku yang paling beliau suka,
alat-alat dapur seperti gelas, piring, panci, dispenser, bahkan sendok dan
garpu pun ikut habis terjual.
Ayahku tidak dapat berbuat banyak setelah peristiwa
kebangkrutan usahanya. Beliau hanya mampu menjadi kuli dipasar tradisional di
kota kami. Upah yang dia terima tidak mampu menutupi kebutuhan keluarga besar kami.
***
Suatu siang, aku melihat adikku Rafi
menangis sambil menghampiri ibu yang sedang duduk lemas menonton tv tanpa
antena itu. Aku memperhatikan gerak-gerik ibu yang kepanikan, beliau tidak
ingin membiarkan Rafi adikku menangis terlalu lama.
“ibu, ibu aku lapar!” jerit Rafi.
Ibu yang tak bisa berkata apa-apa
langsung pergi menuju dapur, mengambil beberapa piring. Aku pun terus
memperhatikan gerak-gerik ibu. Aku heran apa yang akan ibu lakukan dengan kelima
buah piring itu. Sempat aku berpikir kalau ibu akan mengambilkan nasi untuk
Rafi, namun aku teringat kalau dari kemarin aku belum memasak nasi untuk
keluarga kami. Dengan masih tetap memperhatikannya dari balik pintu, aku
melihat air mata ibuku jatuh berlinang membasahi pipinya yang pucat, namun dengan
cepat beliau langsung menghapusnya takut-takut kalau air matanya akan terlihat
olehku. Aku pura-pura tidak sadar dengan apa yang ibu lakukan didapur, aku
menyibukan diriku dengan menggendong dan menimang Rafi agar dia tidak menangis.
Kubiarkan ibu dengan kesibukannya,
kulihat beliau keluar rumah dengan kelima piringnya itu. Tak beberapa lama
kemudian beliau kembali dengan uang ribuan yang lusuh sebanyak lima lembar. Aku
terheran-heran atas apa yang ibu lakukan. Ibu langsung menyuruhku pergi
kewarung membeli setengah liter beras, dan satu butir telur. Tanpa berpikir
panjang aku pun langsung pergi menuruti perintah ibu.
Aku kembali dengan apa yang ibu
minta dan ibu langsung menyuruhku memasaknya. Ibu menyuruhku membuat telur
dadar dengan mencampurkan telur itu dengan terigu, agar satu telur itu menjadi
besar dan cukup untuk dimakan oleh kami bersembilan. Aku menarik napas
dalam-dalam, air mataku pun tak kuat dibendung, menetes jatuh. Aku tak kuat
menahan ini semua, bagaimana tidak, setiap harinya kami hanya makan satu kali sehari.
Berbagi setengah liter nasi untuk sembilan orang, satu butir telur saja harus dibagi
sembilan, sering kamipun membagi 2 bungkus mie instans untuk sembilan orang.
Terkadang ayah memilih pergi dari rumah saat tiba waktu makan, beliau pergi
sambil menitip pesan padaku agar jatah makanannya diberikan pada adik-adikku
saja.
Ibu sangat sayang pada kami, beliau
tidak pernah membagi penderitaanya pada kami semua. Selagi ayah menjadi kuli
dipasar, ibu selalu menggantikan peran ayah. Ibu tak pernah terlihat sedih
dengan penderitaanya. Ibu rela berkorban demi kami semua. Ibu rela menjual
tempat tidurnya dan memilih tidur dilantai dengan beralaskan kasur yang tipis
saja.
Hampir seluruh
barang berharga dirumah kami terpaksa beliau jual, demi menutupi pendapatan
ayah yang besarnya tak kurang dari sepuluh ribu rupiah. Hanya satu buah meja telepon
yang ibu sisakan diruang tamu kami. Aku heran kenapa ibu tidak pernah mau
menjual meja tersebut, beliau lebih memilih menjual beberapa pakaiannya
ketimbang menjual meja tersebut. Sampai pada saatnya aku tak sanggup melihat
pakaian terbaik ibu harus ikut terjual, akupun menawarkan meja telepon itu
untuk dijual pada ibu. Namun ibu menolak dengan kata-kata yang membuatku
menangis sendiri.
“Selapar apapun kita nanti, ibu
tidak akan menjual tempat yang kau gunakan untuk mengantungkan cita-citamu itu
nak, pakailah terus meja itu.” Ungkapnya sambil pergi kerumah tetangga untuk
menjual baju terbaiknya selama ini, demi sepiring nasi untuk keenam adikku.
Aku lemas mendengarnya, jadi selama
ini ibu tidak mau menjualnya hanya karena aku sering memakai meja yang
panjangnya tidak lebih dari 30 cm itu untuk belajar. Aku tersadar selama ini
aku memang selalu menggunakan meja itu untuk belajar karena itu adalah satu-satunya
meja yang ada dirumah kami.
Itulah kondisi yang selama ini aku
alami, tak ada yang bisa aku lakukan banyak ketika itu. Saat itu kondisinya aku
sedang duduk dikelas tiga. Ditengah kondisi seperti ini aku harus tetap
berjuang untuk bisa lulus SMA. Setiap malam aku bangun untuk belajar dan
mengerjakan tugas, aku menggunakan meja telepon itu sebagai alasku belajar.
Terbayang betapa menderitanya belajar di atas meja yang luasnya lebih kecil
dari luas buku tulisku. Namun tidak ada pilihan lain bagiku, aku tak mampu
menunduk lama untuk belajar bila memilih belajar diatas lantai yang dingin. Meja
itu adalah teman terbaik bagiku. Dia selalu menemaniku dimalam hari disaat
semua orang terlelap, aku harus bangun untuk belajar. Semua itu aku lakukan
karena aku tidak memiliki waktu disiang hari untuk belajar.
Benar kata ibuku meja itu adalah tempat aku
menggantungkan semua cita-citaku. Tempat aku memulai perubahan pada hidup
keluargaku. Ibuku berharap besar padaku, karena aku adalah anak pertama. Jadi setelah
aku lulus SMA nanti aku bisa langsung bekerja, dan ibu optimis terhadap diriku
kalau aku nanti akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Karena ibu tahu aku
termasuk murid yang berprestasi disekolah.
Tanpa disadari aku memang menyayangi
meja kecil hitam itu, meja itu selalu aku bersihkan setiap harinya, walaupun meja
itu kecil dan sempit tapi aku masih bersyukur bisa tetap menulis diatas meja.
Meja itu adalah satu-satunya tempat aku berbagi rahasia, tempat aku mengukir
sebuah mimpi. Hanya meja itu yang menjadi saksi kalau aku memiliki sebuah mimpi
yang selama ini aku rahasiakan dari dunia.
Aku punya sebuah mimpi yang
benar-benar tidak bisa aku ungkapkan pada siapapun. Aku takut kalau mimpiku
yang satu ini kuberitahu pada orang tuaku itu akan menjadi beban padanya, kalau
aku beritahu pada teman-teman atau orang banyak aku takut mimpiku yang ini akan
ditertawakan mereka. Jadi selama ini
hanya meja kecil ini yang bersaksi kalau aku sering mengukir sebuah nama
Universitas yang aku impikan pada catatan sekolahku. Ya, mimpiku yang tidak
dapat aku beritahukan kepada siapa pun termasuk orang tuaku sendiri adalah
duduk di bangku KULIAH.
Sebenarnya setiap kali orang tuaku membahas tentang
pekerjaan yang nantinya aku lakoni setelah lulus SMA, hati kecilku menangis
merintih tak terdengar siapapun.
“ayah, mama, aku gak mau kerja aku
mau kuliah kaya temen-temen, aku mau masuk UGM aku mau ke Jogja, aku gak bisa
KERJA!” jerit hati kecil ini.
***
Saat-saat seperti ini semua
teman-temanku sibuk mencari tempat bimbel yang terbaik dikota kami, sebagai
salah satu persiapan sebelum menghadapi SNMPTN. Bagi seorang Siti Horiah
jangankan mengikuti program bimbel, buku paduan SNMPTN saja tak punya. Aku tak
pernah memiliki niat untuk membeli buku SNMPTN yang harganya selangit itu.
Untuk makan adik-adiku saja setiap subhu aku dan ibu masih harus keliling pasar
untuk menjajakan kue cucur buatan ibuku. Bagaimana aku mau menabung, uang jajan
yang ibu berikan itu hanya sebesar tiga ribu rupiah saja, itupun hanya cukup untuk
ongkos naik angkutan umum. Kalau kue kami tidak terjual satupun itu berarti aku
harus berjalan kaki sejauh 3 km untuk sekolah. Aku tak sanggup meminta uang
sepeserpun unutuk membeli buku SNMPTN pada ayahku yang menjadi kuli dipasar,
apalagi berkata pada ayah kalau aku ingin kuliah ke JOGJA. Sudahlah bagiku
kuliah adalah mimpi-mimpi basi seorang siswa SMA kelas 3 seperti aku ini.
Itulah sebabnya aku menyembunyikan
mimpi besar hidupku ini dari orang banyak. Bagiku mimpi ini hanya akan menjadi
pisau kecil bagi keluarga kami. Mimpi yang akan menusuk dan mengiris perasaan
kedua orang tuaku. Tak pernah sekalipun aku berniat untuk mengkhayal menduduki
bangku kuliah. Aku takut kalau kedua orang tuaku tahu tentang mimpi ini, mereka
pasti akan merasa kalau mereka bukan orang tua yang baik, orang tua yang tidak
bisa membahagiakan anak-anaknya. Biarlah mimpiku yang ini hanya aku, meja kecil
itu dan Tuhan yang tahu.
***
Sahabatku Ana selalu ada untukku,
memberika support. Cita-citanya menjadi dokter membuat aku tersenyum miris
sendiri. Aku selalu berpikir kenapa aku tidak seberani dirinya bermimpi dan
bercita-cita. Namun aku sadar aku tidak seperti dirinya, aku bukan anak
siapa-siapa yang boleh bermimpi setinggi itu. Kalau kata adikku yang pertama
“MIMPI ITU MAHAL KAK!” buat bermimpi saja itu sulit apa lagi merealisasikannya
pada kenyataan. Sesulit itukah bermimpi pikirku kalau mimpi saja dianalogikan
dan disamakan dengan kata mahal. Kata-kata yang membuat keluarga miskin seperti
kami gempar mendengarnya. Kata mahal itu bagi kami berarti mustahil dijangkau.
Maklumlah, bagi keluarga miskin seperti kami harga sebutir telur naik seratus
rupiah pun sudah membuat kepala ayahku sakit.
Saat aku berkunjung kerumah Ana,
orang tuanya memberikanku uang sebesar seratus ribu rupiah. Tanganku gemetar
menerimanya. Orang tua Ana memberikan uang itu untuk aku gunakan sebagai ongkos
pulang kerumah, yang pada kenyataannya ongkos yang aku gunakan hanya empat ribu
rupiah. Setelah kuputuskan sisa uang tersebut kuberanikan saja untuk kubelikan sebuah
buku SNMPTN bekas dipasar. Agar harganya
tidak mahal dan aku dapat memberikan sisa uangnya pada ibuku. Aku sangat senang
sekali saat itu, aku berpikir walaupun aku tak ada niat untuk kuliah namun apa
salahnya kalau aku juga ikut menimba ilmu seperti teman-temanku.
***
“Kamu mau kuliah?” sahut ayahku
didepan ibu dan adik-adiku.
Aku kaget bukan main terhadap
pertanyaan itu, dari mana ayah tahu mimpi yang aku sembunyikan dari dunia itu,
mimpi yang tidak pernah terucap oleh lidahku sendiri walau dalam doa di
sholatku, mimpi yang hanya ikut mengalir bersama air mata sebelum tidurku,
mimpi yang bahkan akupun sendiri malu bercerita pada Tuhan. Ternyata ayah
menyadari hal itu semua karena buku SNMPTN yang baru aku beli kemarin ku
letakan diatas meja kecil hitam itu. Ibuku yang hanya lulusan SD
menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan ayah. Ibu marah mendengar hal itu,
ibu menyuruhku mengubur mimpi tersebut, ibu takut kalau nantinya aku stress
karena mimpiku yang ini tidak akan pernah terwujud. Aku tertunduk menangis,
adik-adiku iba melihat kearahku. Ayah menenangkanku tersenyum padaku, ayah
berkata padaku agar aku belajar yang baik dan mencari tempat kuliah yang aku
inginkan. Ayah berkata kalau beliau akan berusaha mati-matian agar aku bisa kuliah.
Aku tersenyum melihat ayah yang bijak berkata seperti itu, entahlah aku sempat
berpikir kalau ayah hanya ingin menenangkan diriku saja.
***
Suatu sore saat aku sedang menyapu
halaman rumah, seorang ibu yang sebaya dengan ibuku menegurku.
“kamu mau kuliah yah neng?”. Tegurnya sambil tertawa
kecil.
Aku kaget dibuatnya, Ibu itu berkata kalau kemarin
ibuku bercerita pada dirinya bahwa aku merengek meminta meneruskan sekolah. Ibu
itu menasihati diriku, dia berkata padaku kalau kita sebagai orang susah jangan
‘kebanyakan tingkah’, aku sebagi anak pertama jangan menyusahkan kedua orangtua
dengan merengek-rengek minta kuliah. Kuliah itu mahal katanya, upah ayahmu itu
tidak cukup untuk makan dua kali sehari, apalagi untuk biaya kuliah. Kasihan
adikmu ada banyak mau makan apa mereka.
Hatiku bergetar, ingin rasanya aku membentaknya. Namun
aku hanya mampu membalas perkataannya dengan senyum termanis yang aku miliki.
Keesokan harinya ibuku bercerita, kalau teman-teman
ayahku dipasar itu mengolok-olok ayahku karena ayahku bercerita pada mereka
kalau aku ingin kuliah. Mereka berkata pada ayahku kalau tidak akan ada
universitas yang mau menerima orang miskin seperti aku ini.
Aku berlari menuju meja kecil hitam di ruang tamuku,
ku buka buku catatanku yang pernah kutulisi tulisan grafiti nama sebuah
universitas impianku. Kurobek dan kulempar bukunya, aku marah saat itu. Karena
orang yang paling aku sayang itu dihina oleh orang lain, dicaci maki. Aku
tersadar kalau itu semua karena mimpi ‘konyolku’ berkuliah. Itulah sebabnya
selama ini aku malu dan memutuskan untuk menguburkan niat dan impianku
berkuliah sedalam-dalamnya. Sudah kukira akan berakhir dengan penghinaan kedua
orangtuaku seperti ini. Aku kesal, orang tuaku dihina seperti itu. Aku malu
karena itu semua adalah ulah dari mimpi tidur indahku.
***
Keesokan harinya disekolah
teman-temanku bersorak dan memanggilku.
“Selamat yah sit, lu masuk daftar
undangan SNMPTN tuh!” ucap Lidia
Jantungku bergetar, aku tak percaya
kalau namaku bisa masuk dalam jajaran murid-murid pintar yang bisa mengikuti
SNMPTN undangan. Aku pun girang bukan main, ku hampiri guru bimbingan
konselingku. Aku menceritakan masalah keluargaku selama ini, awalnya aku tak
mau bercerita namun karena mimpiku berkuliah saat ini sudah ada di depan
pelupuk mata. Maka akupun memutuskan untuk menceritakan semuanya agar aku
mendapatkan jalan keluar yang terbaik.
Guruku itu langsung memeluk tubuhku
yang kaku, dia memiliki impian besar terhadap diriku. Dia mencarikan solusi
untuk masalahku ini dengan menawarkan beasiswa BIDIKMISI. Tanpa berpikir
panjang aku menyetuji ajakannya. Aku pulang kerumah dan menyiapkan
berkas-berkas yang ada, saat itu aku merasa bersyukur sekali karena impianku
yang kurasa buruk itu akan segera terwujud. Aku sengaja tidak memberitahu
informasi ini pada kedua orangtuaku, aku ingin membuat semua ini menjadi
kejutan bagi mereka.
Segala macam persyaratan pendaftaran
SNMPTN itu pun telah dipenuhi, aku memutuskan untuk memilih UNIVERSITAS GADJAH
MADA dan prodi TEKNIK NUKLIR pada pilihan pertama. Entahlah dengan hanya
bermodal menyukai kimia dan fisika. Maka aku putuskan untuk memilih program
studi ini. Besar harapanku untuk
diterima. Setelah semuanya selesai , baru ku beritahu ayah dan mama. Mereka
sangat senang karena beasiswa Bidik Misi ini mereka berdua tidak perlu
mengeluarkan uang sampai aku lulus nanti. Kedua orang tuaku pun senang dengan
pilihan program studi yang aku pilih itu. Semuanya tinggal ku pasrahkan pada
Tuhan. Kalau memang rezeki aku pasti akan mendaptkannya pesan ayah padaku yang
selalu ku ingat.Aku senang dan aku ingin membuktikan pada semua orang yang
telah menghina mimpiku.Aku ingin membuktikan kalau impianku ini akan segera
terwujud.
***
Dua bulan lamanya aku menunggu
pengumuman, selama itu aku mempersiapkan diriku untuk bisa mengikuti SNMPTN
tulis, aku belajar sedikit demi sedikit dari buku soal-soal SNMPTN yang aku
miliki. Semangatku berkuliah setiap harinya semakin kencang. Ditengah-tengah
semangatku ini, masih saja ada tetangga yang mengolok-olok mimpiku. Ada
tetangga yang berkata pada ibuku seperti ini.
“Hati-hati bu, itu anaknya bukan mau
kuliah tapi mau jual diri.” Ucapnya sinis
Ingin rasanya aku menampar orang
yang berbicara seperti itu pada ibuku,
tapi ibuku menyadarkanku kalau ucapan mereka adalah batu loncatan bagi
prestasiku. Aku harus tetap rajin belajar dan membuktikan pada dunia kalau
mimpiku itu akan mengubah dunia menjadi lebih baik.
***
Semua hinaan, cacian maki
tetangga-tetangga sampai saudara-saudara terdekat kami kemarin terhadap mimpi
besarku, kini lenyap sudah. Air mata kedua orang tuaku kini warnanya berubah sebening
permata, keringatnya yang bercucuran itu menjadi keringat kebanggaan mereka
terhadapku, simpulan senyum guru-guruku mengguratkan harapan besar padaku. Ya, aku
diterima di Universitas kerakyatan yang menjadi kebanggaan negara ini.
Universitas bergengsi dan nomor satu terbaik di Negri ini. Gadjah Mada namanya,
disana namaku tertera di Teknik Nuklir. Program studi sarjana Nuklir satu-satunya
di ASEAN dan memiliki lulusan terbaik se-Asia.
|
keren :) semangat!
BalasHapusterus bikin kita bangga punya adik kelas seperti ini.
alumni sma6 2009 :D
Nice,
BalasHapusWah iya kakak terimakasih yah
BalasHapusinspiratif bangeet :')
BalasHapusWah inspiratif, mbak siti maupun mbak mimi (penulis buku Mahasiswa 1/2 Dewa) memang punya semangat yang gilaa.. dan perlu dicontoh sama semua orang dari latar belakang keluarga apapun. Tapi sayangnya, banyak yang latar belakang keluarganya baik tapi tidak punya semangat seperti mbak siti ini. Apakah mereka perlu merasakan kesulitan terlebih dahulu baru kemudian akan menjadi orang seperti mbak ini?
BalasHapusOh ya perkenalkan, saya Bimantara Hanumpraja Teknik Fisika UGM 2015. Salam kenal mbakkk wkwkwk
Tiada daya dan kekuatan selain dari Allah.
BalasHapusAlumni sma6 1992 FK UGM 93