Siti Horiah mencoba kuat, seperti hujan yang tidak pernah lelah jatuh berkali-kali!

Jumat, 21 Juni 2013

Matahari tak pernah Permisi



Matahari tak pernah Permisi

            Dreett…dreeett…drettt.” Getar handphone itu lagi-lagi mengalihkan lamunanku.
            Papin: Kamu lagi dimana? Udah makan?
      Reply: Kos, udah.
            

            “Kenapa sih harus dia yang sms gue? kaya gak ada orang lain aja.” Celotehku kesal kepada Andin sahabatku.
            “Please deh, bales sms-nya jangan jutek-jutek gitu dong Rin. Dia tuh baik loh sama lu, kenapa sih lu gak kasih kesempatan aja dulu buat dia?” Tutur Andin lembut padaku.
            “Apa, kesempatan? Enggak deh ah, gue ini masih trauma. Lu kan tau Din gue baru di PHP-in sama senior lu yang busuk itu.” Tolakku keras, ketika mendengar tawaran Andin agar aku mencoba membuka pintu hati pada Papin.
***
            Dreett…dreeett…drettt.”
            Getaran hanphone itu terus berbunyi tanpa henti seiring dengan desahan sesak nafasku, kepalaku seketika pusing, hanya gelap dan sulitnya bernafas yang kiniku rasakan. Jangankan untuk mengambil handphone yang berdering di meja samping tempat tidurku, untuk bernafas saja aku kesulitan. Rasanya seperti malaikat maut sudah berada didepan tubuhku dan sudah bersiap mencabut nyawaku dari jasad yang berlumur dosa ini. Yang ada hanyalah kepasrahan dan berharap ada seorang malaikat baik yang datang menolong dan mencegah malaikat maut itu mencabut nyawa ini.
***
            Papin : Jga diri baik2 yah Rin, obatnya ada diatas meja kecil smping itu. Kalau mau makan telepon gue aja, nanti gue bwin makanan. Jngn bnyk aktifitas dulu, istirahat aja yang cukup. Jangan biarin selimut lepas dari badan lo yah Rin. Gue ke kampus dulu, sore gue kesana lagi. :)
           
            Kepalaku terasa sangat pusing, namun aku sudah mampu merasakan leganya saluran pernapasan ini. Entahlah aku lupa akan semuanya, bahakan aku lupa sudah seberapa lama aku berada di atas tempat tidur ini. Apakah barusan itu benar-benar telah terjadi sebuah negoisasi antara malaikat baik dan malaikat pencabutnyawa, dimana negoisasinya itu telah dimenangkan oleh malaikat baik. Ah entahlah, yang penting sekarang aku selamat. Tapi kenapa harus SMS dari Papin yang hanya masuk ke dalam Inbox handphoneku.
            “Masa iya papin yang jadi malaikat baiknya, dan dia yang ngajak negoisasi malaikat mautnya?” Lamunanku  yang buruk ini ternyata mampu mengantarkan aku untuk membalas pesan singkat Papin.
            Reply : Aku pusing, kamu bisa kesini sekarang?
            Entahlah kenapa aku ingin sekali agar dia bisa berada disini sekarang juga. Bisa menemaniku dan menghilangkan rasa sakit ini dari tubuhku. Akhirnya satu menit, lima menit, dan sepuluh menit, masih tetap berada dengan lamunanku barusan aku menunggu balasan SMS dari Papin.Alhasil lagi-lagi aku hanya mendapat kekecewaan yang mendalam, karena sampai detik ini juga dia tidak membalas SMS ku.
            “Clek..” seketika kamar kosku menjadi terang.
            Akhirnya Papin datang dengan membawakanku sebungkus makanan. Lamunanku barusan seketika hilang, entahlah saat ia datang aku merasakan kalau dia adalah sosok Sang matahari yang terbit dan menyinari bumi ini dengan kehangatannya.
***
            “Lo jadian sama Papin?” Sapa Andin tiba-tiba kepadaku.
            “Hah? Enggaklah gila! Ngapain juga? Kayak gak ada cowok lain aja.” Jawabku ketus.
            “Sumpah yah, lu jangan bohong sama gue Rin. Emang kemarenan gue gak ngeliat kalian berdua jalan, apa?” Ancamnya padaku sambil tersenyum seperti orang jahat yang akan menculik anak kecil.
            “Ih gila lu yah!” Jawabku sambil membungkam mulut Andin keras-keras, karena aku takut berita ini tersebar kemana-mana.
            Andin itu sudah menjadi sahabatku yang paling setia semenjak kita berdua masih duduk di bangku sekolah dasar.Ternyata kita memang sudah bersahabat sangat lama, iya mulai dari jamannya anak SD takut sama badut sampe jaman sekarang yang dimana anak SD-nya sudah gak pernah liat badut lagi. Tidak ada satu halpun didunia ini yang dapat aku sembunyikan dari Andin. Hingga pada akhirnya, mau tidak mau akupun harus menceritakan keadaan yang sesungguhnya kepada Andin tentang perasaanku pada Papin.
            “Kamu tahu mataharikan din? Bagi gue Papin adalah sang matahari itu, dia datang tanpa permisi dalam kehidupan ini. Hanya dia yang mau datang lebih pagi untuk menemui gue bahkan dia datang ketika yang lainnya baru mau terlelap meninggalkan gue untuk beristirahat. Papin itu kaya matahari, dia gak pernah bilang mau menyinari kehidupan gue, dan tanpa gue sadari hangat sinarnya selalu ada buat gue. lu pasti tahu kan Din, makhluk hidup itu gak akan pernah bisa hidup tanpa Sang Surya itu.” Kataku pada Andin sambil tersenyum lirih mengingat dulu aku yang sama sekali tidak bisa menerima kehadiran Papin dalam kehidupan ini.
            “Semoga lu gak hanya terbawa arus perasaan lu saat ini aja yah Rin, inget cinta itu kaya mainan, dia bisa cepet rusak kalau gak dijaga.” Jawab sahabatku satu ini dengan sangat bijak.
            Sebenarnya aku pun masih bingung dengan perasaanku ini pada Papin, kali ini aku benar-benar telah dijerumuskan oleh Sang waktu. Iya, waktu yang membuatku menjilat ludahku kembali. Padahal dahulu itu aku enggan sekali untuk membalas sapaan kecilnya sekalipun, namun kini aku yang berbalik memeluknya tulus, dengan harapan penuh kalau Papin itu tidaklah sama dengan cowok kebanyakan.
            “Biarin aja deh Din, gue mau ngikutin permainannya si Papin ini dulu. Sebenernya gue gak terlalu suka sama dia. Yah karena sekarang emang cuma ada matahari yang mengisi kegelapan hati gue, ya kenapa gak dijalananin aja dulu. Ya kan Din?” Akuiku padanya.
            “Udah gue duga, lu tuh cuma kebawa perasaan doang Rin. Hati-hati loh yah kalo Sang waktu udah marah, mungkin lu akan terjebak di labirin permainan yang lu buat sendiri.” Peringat sahabat terbaikku.
            Ya Tuhan, apa yang salah dengan perasaan ini. Aku hanya masih trauma dengan perlakuan seniorku yang hanya memberi harapan palsu, dan aku hanya tidak ingin semuanya terulang kembali. Besar sekali harapanku kalau Matahari itu akan selalu bersinar sepanjang waktu untukku.
***
            Papin : Selamat tidur Peri kecilku. Esok mataharikan kan menyambutmu    dan menyinarimu sepanjang hari. Miss you Arin :*
      Reply : Iya Papin sayang . . .
           
            Banyak yang harus diperbaiki dalam hubungan kita berdua, mungkin semua terlihat baik-baik saja. Namun sinar Sang Surya yang terlalu terik membakar kulit ini, entahlah sinar yang mananya. Semua yang Papin berikan kepadaku hanyalah terlihat fana. Aku tidak mendapatkan apapun dari hubungan ini , bagiku Matahari hanya mampu bersinar tidak pernah menyapa diriku. Sesekali sinarnya tertutup awan mendung keraguan dalam diriku, apa yang diinginkannya? Kali ini aku benar-benar telah jatuh dan terjebak dalam permainanku sendiri. Mengapa papin tidak kunjung mengungkapkan rasa cintanya. Apa yang salah denganku? Kali ini matahari benar-benar membuatku takut menatapnya.
***
            Papin  : Sasa sayang, kamu udah pulang?

            Kali ini harus lagi-lagi yah aku berpikiran kalau semua cowok itu sama. Ternyata benar dugaanku selama ini, Matahari tidak akan pernah terus berada disini masih ada belahan bumi lainnya yang perlu dia sinari. Selama ini aku benar-benara melupakan hukum alam, aku lupa kalau matahari hanya tenggelam untuk terbit di tempat yang lain.
            Reply  : Kali ini aku benar-benar jatuh kedalam lubang yang sama. Mungkin kemarin kamu yang menolongku dari dalam jurang sana, tapi sayang kali ini kamu yang mendorongku kembali kesana. Kamu gak pernah salah, dan aku juga gak salah. Aku memang  yang membuat permainan ini dan kali ini aku yang terjebak dan tidak bisa keluar dari permainan ini. Semua hanya salah Sang waktu, karena kamu datang diwaktu yang tepat. Terimakasih, kamu hebat dan aku bodoh.