Siti Horiah mencoba kuat, seperti hujan yang tidak pernah lelah jatuh berkali-kali!

Kamis, 14 Mei 2015

Pemain Peradaban


            Ketika kita berbicara tentang kemajuan sebuah bangsa ataupun negara, maka ketika itulah perbincangan kita dimulai dari pembahasan tentang siapa penerus bangsa dan bagaimanakah mereka hari ini. Indonesia dengan keberagaman budaya dan kekayaan yang melimpah masih sama seperti dahulu. Belum ada yang berubah, apalagi penerus bangsanya. Semakin hari cepat berganti, maka semakin cepat adanya pergantian tentang ‘siapa’ yang sedang menjadi penerus bangsa. Fenomena ini terjadi seolah-olah semua pemain peradaban mewariskan hal yang sama setiap kalinya, mereka hanya meninggalkan bekas tanpa jejak bahwa mereka dahulu pernah berpikir untuk menjadi penerus bangsa yang hebat tapi tak pernah sempat melakukannya. Ya, waktu selalu disalahkan karena tak pernah cukup memberi waktu untuk melakukan kesempatan itu.
            “Aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal ini, kalianlah yang akan meneruskannya.”
            Inilah Indonesia yang katanya besar, yang katanya negara dengan mayoritas umat muslim terbanyak, Indonesia yang selalu memiliki siklus perubahan orde kepemimpinan yang paling singkat. Tapi tidak pernah berbuat banyak untuk peradaban dunia. Zaman dulu, Bangsa Yunani pernah menampilkan wajahnya, disusul Romawi dan Persia dengan bangganya. Lalu disusul Arab dengan kemuliaannya, kemudian Turki dengan kewibawaanya, hingga akhirnya kembali ke Barat dengan keglamorannya. Lalu kapan giliran Indonesia?
Bisakah Indonesia mendapatkan giliran untuk mendapatkan trophi sebagai pemegang peradaban dunia terbaik, ataukah masih akan sama seperti dulu hanya menjadi pemain yang membayar orang lain untuk membesarkan namanya? Mungkin iya ataupun mungkin tidak, mengingat intelek muda atau penerus bangsanya masih bersahabat dengan keglamoran dunia Barat. Dimana pemuda-pemuda islam saat negara ini terus mengalami penurunan? Peradaban manusia sedang menanti aktor baru hari ini. Peradaban dunia seperti sudah berasumsi bahwa aktor masa depan yang membawa harapan baru adalah islam, hanya islam. Tapi bukan islam yang terpasung penuh kelesuan, melainkan islam yang agung dengan kekuatan. Lihatlah lagi, ketika dahulu pejuang-pejuang islam yang berada di garda terdepan adalah pemuda. Tak peduli berapa usia mereka saat itu, yang mereka tahu hanyalah kemenangan islam untuk peradaban yang cermelang.
Dahulu ada Ustman bin Zaid, beliau adalah pemimpin sebuah ekspedisi militer yang disana ada tokoh-tokoh besar, seperti Abu Bakar dan Umar, saat itu usia Ustman adalah 19 tahun. Harun Ar-Rasyid pernah juga memimpin sebuah imperium raksasa yang terdiri dari tiga benua besar, yaitu Asia, Afrika dan Eropa, dan pada saat itu usianya baru menginjak 22 tahun. Anaknya sendiri, yaitu Harun Ar-Rasyid adalah pemimpin pasukan besar yang memenangkan perang di Khurasan pada saat usianya 11 tahun. Imam Syafii menjadi guru besar umat islam diusia 7 tahun. Dan berikutnya ada Hasan Al-Banna yang berani mendirikan organisasi superbesar yang akhirnya menyebar di 70 negara dan pada saat itu usianya baru mencapai 22 tahun. 


 

            Diusia muda mereka telah banyak berkarya, bergerak dan ikhlas menjadi bintang dilangit surga demi kepentingan islam. Mereka adalah pejuang-pejuang yang berani mendobrak rimbunnya belantara tantangan kehidupan. Padahal jelas saat itu adalah masa-masa tersulit islam. Masa dimana islam hanya diikuti oleh sedikit umat, masa dimana islam masih berdakhwah secara sembunyi-sembunyi dan masa dimana islam diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan dan bisa diterima sebagai agama Allah. Bisa terbayangkan bahwa betapa beratnya mereka berjuang demi kejayaan islam dimasa itu.
            Kemana intelek muda islam negeri ini akan membawa arah sorot cahaya kemenangan islam? Dan kapan hal itu akan terjadi, ketika masa muda hanya dipakai untuk menghanyutkan diri dalam arus globalisasi Barat? Ya, inilah Indonesia. Negeri dimana kebanyakan pemudanya sudah tidak peduli lagi dengan identitas islam yang sebenarnya. Menganggap islam adalah agama yang bisa diliberalkan dan disamaratakan dengan agama lain, sehingga mereka lupa memberi bukti islam sejati di lingkungannya. Ruh keislaman pada pemuda saat ini kian lama semakin runtuh tidak lagi wasati dan jasadnya dauli. Pemuda saat ini sangat jauh dari Al-quran sehingga aturan-aturan kehidupan sudah tidak lagi sesuai dengan syariat islam. Tidak sedikit dari mereka yang menganggap Al-quran dan hukum Allah sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Mungkin beberapa hal ini lah yang membuat negeri dengan penduduk islam terbanyak ini tidak pernah mendapatkan giliran piala pemegang peradaban.
            Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa ketika kita membicarakan kemajuan sebuah bangsa nantinya maka kita harus memulainya dari bagaimana penerus bangsa saat ini. Melihat fenomena Indonesia  yang ada, untuk membangun para intelek muda yang mau bergerak dengan berlandaskan islam haruslah dimulai dari pemahaman akan pengetahuan islam yang sejati. Islam sebagai agama besar dengan kekuatannya yang agung dan hanya dengan hukum dan syariat islamlah kebenaran dapat ditegakan. Mendekatkan pemudanya dengan Al-quran dan Sunah. Memulai pergerakan dari lingkaran-lingkaran pengajian hingga akhirnya bisa meluas menuju ruang sidang anggota dewan. Sebagaimana kata Al-Maradi Al-Hadrami dalam kitabu As-Siyasah : “Ilmu itu pokok sedang kekuatan adalah cabang.” Sebab tanpa ilmu sebuah amal tidak kokoh dan tidak sah.
            Ingat perubahan tidak dimulai dari negara dan lembaga pemerintahan, tapi dimulai dari dalam diri manusia. Itulah sebabnya, perubahan-perubahan sepanjang sejarah tidaklah dimulai oleh massa, tapi otak besar satu dua manusia. Sebagaimana kata Imam Al-Ghazali, bahwa kerja-kerja besar kenabian berasal dari ilmu, penghayatan dan amal. Begitu juga dalam membangun peradan dan mendidik intelek muda agar memainkan peradaban dunia berlandaskan hukum islam.

References

(2011). In M. Elvandi, Inilah Politikku. Solo: Era Adicitra Intermedia.

Siti Horiah
-Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada 2012-