Ketika
kita berbicara tentang kemajuan sebuah bangsa ataupun negara, maka ketika
itulah perbincangan kita dimulai dari pembahasan tentang siapa penerus bangsa
dan bagaimanakah mereka hari ini. Indonesia dengan keberagaman budaya dan kekayaan
yang melimpah masih sama seperti dahulu. Belum ada yang berubah, apalagi penerus
bangsanya. Semakin hari cepat berganti, maka semakin cepat adanya pergantian
tentang ‘siapa’ yang sedang menjadi penerus bangsa. Fenomena ini terjadi
seolah-olah semua pemain peradaban mewariskan hal yang sama setiap kalinya,
mereka hanya meninggalkan bekas tanpa jejak bahwa mereka dahulu pernah berpikir
untuk menjadi penerus bangsa yang hebat tapi tak pernah sempat melakukannya.
Ya, waktu selalu disalahkan karena tak pernah cukup memberi waktu untuk melakukan
kesempatan itu.
“Aku
sudah terlalu tua untuk melakukan hal ini, kalianlah yang akan meneruskannya.”
Inilah
Indonesia yang katanya besar, yang katanya negara dengan mayoritas umat muslim
terbanyak, Indonesia yang selalu memiliki siklus perubahan orde kepemimpinan
yang paling singkat. Tapi tidak pernah berbuat banyak untuk peradaban dunia.
Zaman dulu, Bangsa Yunani pernah menampilkan wajahnya, disusul Romawi dan
Persia dengan bangganya. Lalu disusul Arab dengan kemuliaannya, kemudian Turki
dengan kewibawaanya, hingga akhirnya kembali ke Barat dengan keglamorannya.
Lalu kapan giliran Indonesia?
Bisakah
Indonesia mendapatkan giliran untuk mendapatkan trophi sebagai pemegang
peradaban dunia terbaik, ataukah masih akan sama seperti dulu hanya menjadi
pemain yang membayar orang lain untuk membesarkan namanya? Mungkin iya ataupun
mungkin tidak, mengingat intelek muda atau penerus bangsanya masih bersahabat
dengan keglamoran dunia Barat. Dimana pemuda-pemuda islam saat negara ini terus
mengalami penurunan? Peradaban manusia sedang menanti aktor baru hari ini.
Peradaban dunia seperti sudah berasumsi bahwa aktor masa depan yang membawa
harapan baru adalah islam, hanya islam. Tapi bukan islam yang terpasung penuh
kelesuan, melainkan islam yang agung dengan kekuatan. Lihatlah lagi, ketika
dahulu pejuang-pejuang islam yang berada di garda terdepan adalah pemuda. Tak
peduli berapa usia mereka saat itu, yang mereka tahu hanyalah kemenangan islam
untuk peradaban yang cermelang.
Dahulu ada Ustman
bin Zaid, beliau adalah pemimpin sebuah ekspedisi militer yang disana ada
tokoh-tokoh besar, seperti Abu Bakar dan Umar, saat itu usia Ustman adalah 19
tahun. Harun Ar-Rasyid pernah juga memimpin sebuah imperium raksasa yang
terdiri dari tiga benua besar, yaitu Asia, Afrika dan Eropa, dan pada saat itu
usianya baru menginjak 22 tahun. Anaknya sendiri, yaitu Harun Ar-Rasyid adalah
pemimpin pasukan besar yang memenangkan perang di Khurasan pada saat usianya 11
tahun. Imam Syafii menjadi guru besar umat islam diusia 7 tahun. Dan berikutnya
ada Hasan Al-Banna yang berani mendirikan organisasi superbesar yang akhirnya
menyebar di 70 negara dan pada saat itu usianya baru mencapai 22 tahun.
Diusia
muda mereka telah banyak berkarya, bergerak dan ikhlas menjadi bintang dilangit
surga demi kepentingan islam. Mereka adalah pejuang-pejuang yang berani
mendobrak rimbunnya belantara tantangan kehidupan. Padahal jelas saat itu
adalah masa-masa tersulit islam. Masa dimana islam hanya diikuti oleh sedikit
umat, masa dimana islam masih berdakhwah secara sembunyi-sembunyi dan masa
dimana islam diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan dan bisa diterima
sebagai agama Allah. Bisa terbayangkan bahwa betapa beratnya mereka berjuang demi
kejayaan islam dimasa itu.
Kemana
intelek muda islam negeri ini akan membawa arah sorot cahaya kemenangan islam?
Dan kapan hal itu akan terjadi, ketika masa muda hanya dipakai untuk
menghanyutkan diri dalam arus globalisasi Barat? Ya, inilah Indonesia. Negeri
dimana kebanyakan pemudanya sudah tidak peduli lagi dengan identitas islam yang
sebenarnya. Menganggap islam adalah agama yang bisa diliberalkan dan
disamaratakan dengan agama lain, sehingga mereka lupa memberi bukti islam
sejati di lingkungannya. Ruh keislaman pada pemuda saat ini kian lama semakin
runtuh tidak lagi wasati dan jasadnya
dauli. Pemuda saat ini sangat jauh
dari Al-quran sehingga aturan-aturan kehidupan sudah tidak lagi sesuai dengan
syariat islam. Tidak sedikit dari mereka yang menganggap Al-quran dan hukum
Allah sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Mungkin beberapa hal ini
lah yang membuat negeri dengan penduduk islam terbanyak ini tidak pernah
mendapatkan giliran piala pemegang peradaban.
Seperti
yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa ketika kita membicarakan kemajuan
sebuah bangsa nantinya maka kita harus memulainya dari bagaimana penerus bangsa
saat ini. Melihat fenomena Indonesia
yang ada, untuk membangun para intelek muda yang mau bergerak dengan
berlandaskan islam haruslah dimulai dari pemahaman akan pengetahuan islam yang
sejati. Islam sebagai agama besar dengan kekuatannya yang agung dan hanya
dengan hukum dan syariat islamlah kebenaran dapat ditegakan. Mendekatkan
pemudanya dengan Al-quran dan Sunah. Memulai pergerakan dari
lingkaran-lingkaran pengajian hingga akhirnya bisa meluas menuju ruang sidang
anggota dewan. Sebagaimana kata Al-Maradi Al-Hadrami dalam kitabu As-Siyasah : “Ilmu itu pokok sedang kekuatan adalah cabang.”
Sebab tanpa ilmu sebuah amal tidak kokoh dan tidak sah.
Ingat
perubahan tidak dimulai dari negara dan lembaga pemerintahan, tapi dimulai dari
dalam diri manusia. Itulah sebabnya, perubahan-perubahan sepanjang sejarah
tidaklah dimulai oleh massa, tapi otak besar satu dua manusia. Sebagaimana kata
Imam Al-Ghazali, bahwa kerja-kerja besar kenabian berasal dari ilmu,
penghayatan dan amal. Begitu juga dalam membangun peradan dan mendidik intelek
muda agar memainkan peradaban dunia berlandaskan hukum islam.
References
(2011). In M.
Elvandi, Inilah Politikku. Solo: Era Adicitra Intermedia.
Siti Horiah
-Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada 2012-
0 Obrolan:
Posting Komentar